Kamis, 09 Desember 2010

Hikayat Sri Sultan Hamengkubowono X dan Sang Jago Dagelan Ruhut

Pada saat kasus Bank Century sedang hangat-hangatnya diberitakan di media massa, demo menuntut penyelesaian kasus tersebut terjadi di mana-mana dan dilakukan oleh berbagai kalangan termasuk mahasiswa, Sang Jago Dagelan Ruhut dengan retorikanya membungkam argumentasi seorang mahasiswa (yang dilontarkan dengan cukup sopan di sebuah acara talk show TV swasta), "Saya dulu seorang mahasiswa dan sekarang saya berada di posisi sebagai anggota wakil rakyat, Anda belum dan mungkin belum tentu bisa berada di posisi seperti saya jadi jangan banyak omonglah." itu kurang lebih yang dikatakan oleh Sang Ruhut dengan nada sedikit keras dan terkesan pongah. Saat itu tentu saja Sang Ruhut sedang gigih-gigihnya membela Demokrat yang sedang dikeroyok oleh partai-partai lain seperti Golkar dan PDIP dalam skandal  Bank Century tersebut. Belum lama ini mengenai RUUK Yogyakarta, Sang Ruhut berkomentar, "Mahasiswa Yogya kan pinter-pinter, lihat mereka tak ada yang demo turun di jalan-jalan menentang RUUK karena mereka pintar". Saya pikir Sang Ruhut telah melakukan inkonsistensi dalam menilai mahasiswa. Tapi mungkin untuk menjadi politikus memang harus begitu, harus tidak konsisiten yang konsisten adalah kepentingannya. Sang Ruhut sangat konsisten dalam membela partai dan maaf kalau sangat terkesan sebagai penjilat kepada "Bapak". 

Gunung Merapi meletus, kamp-kamp penampungan pengungsi penuh sesak, berbagai persoalan penanggulangan bencana membebani anggaran APBD Yogyakarta di akhir tahun. Tapi saksikan Sang Sultan saat diwawancarai oleh reporter TV swasta, "Masih mampukah anggaran Yogyakarta menanggung beban untuk menanggulangi bencana?" Jawaban Sang Sultan: Yogya masih mampu dan beberapa anggaran yang bisa ditunda akan ditunda lebih dulu agar tersedia dana untuk penanggulangan bencana tersedia, Yogya masih mampu, mampu dan mampu tanpa bantuan dari pusat, adapun jika pusat hendak membantu, silahkan saja". Sebuah jawaban yang sangat bermartabat dan jauh dari kesan meminta-minta serta keluh kesah (mungkin ciri khas dari seorang ksatria). Saksikan juga saat Sang Sultan dimintai pendapatnya tentang relokasi warga di sekitar lereng merapi, jawaban Sang Sultan: Warga tidak boleh dipaksa dan harus kerelaan warga sendiri jika opsi relokasi yang diambil. Sebuah jawaban dari sang pemimpin yang sangat mengayomi rakyatnya. 

Buat saya simple aja: "Lebih baik Yogyakarta dipimpin oleh seorang Gubernur seperti Sri Sultan Hamengkubowono X seumur hidupnya daripada dipimpin oleh politikus seperti Sang Ruhut walau hanya 5 tahun. Politikus seperti Sang Ruhut apa sulitnya melupakan atau menepiskan keinginan untuk menjadi gubernur di Yogyakarta dan Papua, toh masih banyak provinsi lainnya jika kebelet pengen jadi gubernur????

Tanda

Kemapanan berpikir logis dan ilmiahku mulai goyah saat Aku menghadapi istriku yang berpikir sederhana dan menurutku kadang sedikit berbau tahayul. Kebetulan kami punya beberapa perbedaan latar belakang, Aku sejak kecil sudah terdoktrin nilai-nilai agama lewat surau-surau (tajug) dan sekali-kali jadi santri lewat di pesantren yang ada di kota kelahiranku, kotanya Sang Wali Gunung Jati. Pendidikan formalku juga cukup baik, Aku beruntung bisa sampai kuliah di salah satu perguruan negeri yang ada di Bandung. Istriku kurang beruntung dalam hal pendidikan, tidak sempat punya ijazah SD, pengetahuan agamanya juga sangat memprihatinkan.

Jika istriku banyak mempercayai hal-hal yang menurut Aku tak masuk akal maka Aku bisa memahaminya karena Aku pikir hal itu wajar mengingat latar belakang pendidikannya yang kurang baik. Hanya ada satu dari "yang tak masuk akal" yang agak dan mungkin sangat mengganggu kemapanan logikaku. Telapak tangannya selalu merasa gatal jika besoknya Aku akan terima uang (kebetulan pendapatanku sebagai guru honorer tak dapat diprediksi kapan waktunya aku akan terima honorku). Pertamanya Aku pikir hanya kebetulan saja hal itu terjadi tapi setelah kejadian tersebut terjadi berulang-ulang dengan akurasi yang cukup presisi, logikaku mulai runtuh. Pernah suatu pagi, Aku bilang sama rekanku, "Sepertinya siang ini kita akan terima uang." Tentu saja temanku yang satu ini senang mendengar berita seperti ini karena sudah sejak 3 bulan yang lalu dia sudah tak pernah memegang lembaran yang namanya uang. "Dapat berita dari mana?" dengan enteng kujawab, "tadi malam telapak tangan istriku gatal, berati hari ini mungkin kita akan terima uang walaupun Aku sendiri tak tau uang honor apa yang akan kita terima." Dasar gendeng, tawa kami pun berderai seakan untuk sesaat lupa akan tuntutan hidup yang membelenggu sehari-hari. Siangnya, Aku bisa senyum dan mengedipkan mata di depan temanku walau tanpa kata seakan bertanya tanpa perlu jawaban, 'benerkan apa yang aku bilang tadi pagi?, Yaa siang itu kami terima Rp 660.000,- uang makan yang sebelumnya tak kami perkirakan.

Dalam pikiranku sering timbul pertanyaan, mungkinkah rasa gatal pada telapak tangan istri  bila Aku akan menerima atau mendapatkan uang merupakan suatu tanda seperti mendung sebagai tanda akan hujan? Sepertinya benar-benar tidak logis. Mungkin yang Aku pikir saat ini tidak logis, disuatu masa nanti bisa dibuktikan korelasinya sehingga bisa diterima dengan akal sehat.