Sabtu, 31 Juli 2010

Seven Years in Borneo


Brad Pitt dalam film Seven Years in Tibet-nya karena terobsesi dengan puncak Himalaya, akhirnya harus menjalani 7 tahun kehidupannya di Tibet dan sempat menjadi guru seorang Dalai Lama kecil. Dengan setting yang agak berbeda, mungkin seperti itulah kurang lebihnya kisahku.

Eksotisme belantara Kalimantan, menyusuri sungai-sungainya, demam malarianya, dan tentu saja romantismenya kehidupan di kampung-kampung Suku Dayak-nya, sudah sangat menggoda hasrat ingin tahuku yang akhirnya kuputuskan untuk melakukan petualangan ke Kalimantan. Satu faktor lainnya adalah biaya, jika punya dana unlimited tentu saja siapa sih yang ndak ingin berkunjung dan menangis haru di Masjidil Haram, Naik kapal ke pedalaman sungai Nil, naik kereta Trans Siberia selama seminggu di Rusia, naik unta di gurun Sahara atau bahkan melihat reruntuhan bekas kejayaan suku Inka di Amazon. Di antara daftar tersebut hanya ke Kalimantanlah yang bisa terdanai saat itu.

Entah berapa sungai di Pulau yang terkenal dengan julukan 1000 anak sungai ini yang telah aku susuri, entah sudah berapa kali pula aku terkena serangan malaria saat melewatkan hari-hariku bersama perambah hutan, peladang berpindah atau para pencari gaharu di hutan-hutan Kalimantan, dan entah sudah berapa banyak perkampungan suku Dayak yang sudah kusinggahi. Semua hal tadi terasa sangat menyenangkan karena merupakan hal baru bagiku yang terlahir dan tumbuh di Jawa.

Suatu ketika di daerah Hulu Mahakam aku bertemu dan ngobrol-ngobrol dengan seorang Kakek-kakek yang dengan yakinnya berkata kepadaku, "Lihatlah gunung (G. Beratus) itu anak muda, begitu besar dan tinggi, puncaknya adalah puncak tertinggi di dunia." Aku cukup terkejut juga melihat ekspresi wajahnya yang begitu yakin dengan apa yang dia katakan. Saat itu aku hanya meresponnya dengan anggukan seakan mengiyakan apa yang diyakininya tadi. Aku pikir mungkin kakek ini tidak seperti aku yang sudah pernah menyaksikan dan mendaki puncak-puncak tertinggi di Pulau Jawa, melihat keperkasaan Gunung Ciremai, Lawu, dan Semeru yang terlihat lebih besar dan tinggi jika dibandingkan dengan Beratus, atau mungkin kakek ini belum pernah mendengar akan adanya nama Puncak Himalaya. Lintasan-lintasan pemikiran seperti itu berkecamuk dalam otakku. Aku hanya ndak habis pikir, di tahun 2004 di era informasi ternyata arus informasi masih tersumbat untuk kakek ini yang memang berada jauh di pedalaman Kalimantan.


Lain waktu, aku sangat terheran-heran mendengar pengakuan seorang ibu-ibu, "Aku dan ibu-ibu di kampung ini keberatan bila anak-anak kami diimunisasi, bayangkan saja, anak sehat-sehat koq disuntik dan malam harinya menjadi rewel dan sedikit demam. Menghadapi situasi seperti ini tentu saja aku ndak hanya diam, seperti ada beban moral buatku untuk bisa meluruskan pemahaman ibu ini tentang arti pentingnya imunisasi bagi bayinya. Namun nampaknya usahaku tidak banyak membuahkan hasil, ibu tadi tetap berpegang teguh dengan pendiriannya.

Dalam perenunganku, sepertinya ada yang salah dari orang-orang yang kujumpai ini. Pengetahuan mereka sepertinya tertinggal beberapa dekade bila dibandingkan dengan orang-orang yang tinggal di daerah perkotaan. Pertemuanku dengan seorang kakek dan ibu tadi cukup menyentuh naluriku dan akhirnya mengubah jalan hidupku, kuputuskan akhirnya aku menjadi guru di daerah ini. Paling tidak aku merasa menjadi bagian dari peperangan memerangi kebodohan. Begitu menyenangkannya kehidupanku menjadi seorang guru sampai tak terasa sudah berlalu waktu 7 tahun petualanganku di Kalimantan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar